Sabtu, 10 Desember 2011

Membingkai Pelangi

Masih ingatkah, saat kau berkata "Mimpi ada untuk
dicapai, bukan untuk diimpikan saja," dengan senyum
manismu.

###
Saat yang paling menyenangkan adalah berbagi
waktu dengan teman-teman, dan juga denganmu
tentunya. Kala semua orang lelap dalam mimpi , kita
masih bercerita mengenai masa depan dan berandai-
andai akan hal yang akan dicapai ketika kelak
dewasa. Aku tahu, dan kaupun tahu bahwa seringkali kita hanya tertawa karena angan mimpi yang setinggi
langit. Namun lagi-lagi kau mampu membuatku
percaya "Langit memang tinggi, tapi kita bisa
menyentuhnya. Tak percaya? Marilah ikut denganku,"
ajakmu saat itu. Di ujung jendela yang terbuka lebar
menyambut angin, kau arahkan tangan ke langit dan tersenyum "Iya kan? Bukan menyentuh, tapi
menggapai bisa. Bagiku tak ada bedanya." Selalu dan
selalu, memberiku suntikan semangat untuk melaju
lebih. Kadang aku pikir, Tuhan mempertemukan kita
dengan sebuah alasan, entah agar aku dapat belajar
darimu... ataukah untuk memberiku waktu,
selamanya denganmu. Uhm... ini memalukan, tapi
gadis mana yang tak jatuh hati dengan pemuda
sebaik dirimu? Aku beruntung, sangat beruntung memilikimu meski tak dapat dikatakan secara hati,
namun aku memiliki fisikmu. Yang dalam artianku,
kau ada disampingku walau gadis lain dalam
pikiranmu. Aku cukup bodoh untuk menyukaimu, dan
ijinkanku menikmatinya, sebentar saja sebelum kau
menghilang dari hidupku.

###
Taman itu rapi, dengan jajaran bunga dan pohon yang
berpadu sempurna. Sesosok pemuda tertawa dan
sesekali mengusap rambutnya. Sinar mentari sore
terpantul di sela-sela dahan pohon dan menjadikan
senja semakin indah dengan semarak daun-daun
yang berguguran. Pemuda itu kembali menatap gadis yang duduk diam, tersenyum menatapnya dengan
penuh cinta. Ini terdengar klise, kau bisa menutupi
perasaanmu namun mata adalah jendela hati, dan itu
tak akan bisa menutupi apapun. Pemuda itu tak ingin
mengubris getar perasaan sang gadis. Tepatnya, ia
tak ingin melukainya dengan sejuta hal yang belum gadis itu ketahui tentang dirinya. Pemuda itu
menghembuskan nafas dan menaikkan jaketnya.
Musim gugur yang dingin.
"ify, mari masuk.
Udaranya cukup dingin dan aku tidak ingin kau
sampai masuk angin dan demam." ify mengangguk
pelan
"Tapi sebentar lagi ya, beri aku waktu 10 menit."
"Tidak fy, tubuhmu tak akan kuat dalam
sepuluh menit. Kita masuk sekarang," ujar Rio
tegas. Pemuda itu mendorong kursi roda ify masuk
ke lorong yang menuju ruang perawatan. Ify hanya
bisa diam cemberut.
"Selalu saja alasannya tubuhku,
menyebalkan. Aku memang sakit tapi bukan seorang penderita sekarat. Rio tidak pernah mengerti
kesukaanku pada suasana langit sore.." batinnya.
Rio memperhatikan gelagat ify yang diam
membisu dan cuek, ia tahu bahwa ify sedang tak
ingin diganggu. Kebiasaan ify sedari kecil, tak
pernah berubah. Gadis itu pasti memberengut jika
keinginannya tidak dikabulkan. Tapi ify bukan tipe
gadis yang akan berteriak atau menangis, ia hanya akan diam, yang akan bertahan hingga berhari-hari.
Rio menarik nafas, ini menjengkelkan saat harus
patuh pada ego ify. Tapi tak ada pilihan. Huft..
"ify,
jangan marah. Baiklah, aku minta maaf tapi kali ini
aku tak bisa memperbolehkanmu berlama-lama di
udara dingin. Mengertilah." ify masih diam tak berespon. rio menggeleng, ini sangat menjenuhkan.

"Apakah... Kau akan mengizinkanku saat aku sudah
sekarat, Rio? Aku tahu kau sudah tak tahan
merawatku. Mungkin ada pikiranmu jika aku cepat
mati saja," lirih ify tiba-tiba. Sontak Rio tertegun
dan tangannya kaku tak bergerak. Kursi roda ify terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Angin dingin berhembus pelan, langit semakin kelam.
rio dan ify tak bersuara. Setelah berhasil
menguasai dirinya, pemuda itu kembali mendorong
kursi roda ify menuju kamarnya. Tak butuh waktu
lama untuk membaringkan ify di ranjang dan
menarik selimutnya. Gadis itu pun tak nampak ingin melanjutkan pembicaraan mereka. Sesudah
memastikan ify aman dan nyaman dalam
pembaringannya, Rio mengambil kursi dan duduk di
samping ranjang.
"ify, jujur aku terkejut mendengar
perkataanmu. Aku mengharapkanmu mati? Yang
benar saja! Kau adalah temanku sedari kecil, sahabatku. Masih ingat saat kita diam-diam berkemah
dan bertahan dalam tenda saat hujan deras? Usia kita
kala itu 10 tahun, dimana kita bercerita tentang mimpi
dan segala hal yang akan kita capai dewasa kelak.
Aku sungguh sedih fy, dirimu sudah berubah sejak
saat kecil dulu." Pandangan Rio menerawang, mengingat masa kecil yang seringkali ia sangkal.

"Jangan mengungkit kejadian itu. Mungkin kau masih
ingat, tapi ingatanku tak mampu lagi menggali
memori 15 tahun lalu," ujar ify penuh kesedihan.


Penyakit ini, tak hanya mengambil sistem imunnya
tapi juga memorinya. Dimana segala kejadian terarsip rapi dalam otaknya, dan ia harus rela kehilangan
beberapa ingatan masa lalunya. Rio menyesal mengingatkan Ify, yang tentu saja
tak dapat diingat oleh gadis itu lagi.
"Tapi aku masih
ingat samar-samar Rio, senyummu saat
menyentuhkan langit," sambung ify tersenyum
hangat.
Kebisuan yang sedari tadi menyebar, lenyap
dengan senyum ify yang polos. Rio tersenyum lemah. Ia tak boleh tampak kalah di depan Ify.

"Baiklah, sekarang istirahat dan aku akan
menengokmu lagi sebelum jam tidur."

###
Rio menghempaskan tubuhnya pada sofa di ruang
dokter. Sebagai dokter koas, ia bertugas untuk
merawat seorang pasien dan kebetulan sekali
pasiennya adalah Ify. Gadis yang lama tak ia jumpai
sejak 15 tahun lalu. Sama sekali tak berubah. Dan
termasuk janji kecil mereka. Apakah ify masih mengingatnya? Janji bahwa mereka akan bertemu
dewasa nanti dan percaya ikatan benang merah Rio
ada pada ify. Ya, gadis itu mencintainya. Tak dapat
menyalahkan waktu bila perhatian Rio sebagai
seorang kawan ditanggapi lain oleh Ify. Tapi janji
mereka telah diingkari Rio, saat sosok Sivia mengisi kehidupannya dan melupakan ify. Dan
sialnya, Alvin teman sekampus ify sewaktu kuliah
walau tak akrab. Mereka beberapa kali bertemu
dalam mata kuliah yang sama. Rio menutup
matanya dengan perasaan lelah dan terlelap.

###
Terik matahari siang terasa sangat menyengat.
Seorang pemuda berpakaian kaus dan celana
jeans sambil sesekali mendesah kepanasan. Rambut pendeknya tak juga
membantu dalam cuaca sepanas ini. Ia berjalan dan
menuju ruang perawatan, bertanya pada perawat jaga dan melanjutkan perjalanannya. Tangannya
meraih handel pintu dan membuka perlahan. Di
tengah ruangan terdapat ranjang, ditempati sesosok
gadis lemah. Ify berbalik, saat melihat sosok Alvin
datang menjenguknya.gadis itu menatap
canggung dan Alvin menyalami ify.
"Apa kabarmu? Aku dengar dari Rio, kalau ia yang
merawatmu dan aku lama tak bertemu denganmu,
jadi.. Aku datang menjengukmu."
"Terima kasih vin,
senang melihatmu setelah berapa lama tak bersura.
Silakan duduk. Mamaku menyimpan beberapa
minuman ringan di kulkas, ambillah. Kau pasti kehausan di cuaca sepanas ini tapi masih datang
menjengukku. Trims ya," balasnya penuh ketulusan.

Alvin mengambil sekaleng Cola dan duduk di dekat ify.
Apakah, penyakit dapat menghilangkan sinar
kehidupan seseorang? pikir alvin. Mereka berbasa-basi
sejenak dan pembicaraan berlanjut ke arah Rio. Ify tahu, Alvin pasti cemburu bila Rio lebih sering
menghabiskan waktu dengannya dibanding dengan
dirinya. Tapi ify paham, itu normal bila kekasihmu
adalah dokter muda yang tampan.
"fy, aku ingin membicarakan sesuatu hal
menyangkut rio. Dia... Ah, bukan. Apakah kau
masih mengingat janji kecil kalian?" tanya alvin hati-hati.
Alis ify bertaut, mencoba menerka apa maksud alvin.

"Eh, um... Tidak usahlah kau ingat. Aku hanya
bertanya saja, jangan dipikirkan. Baiklah, aku pulang sekarang ya," ujar alvin dengan salah tingkah. ify
menatap alvin dan memanggilnya sebelum alvin pamit.

"Aku hanya ingat, Rio temanku sedari kecil yang
lama tak jumpa setelah 15 tahun, vin. Aku menyukai
Rio dan kurasa kau pasti mengetahuinya. Tapi
jangan khawatir, aku hanya meminta waktu sebentar saja sebelum sisa hidupku habis. Bagiku Rio adalah
pensil yang menggoreskan kenangan indah di
hidupku dan harapku, kau dapat menjadi penghapus
baginya vin. Yang dapat menghapus segala kesedihan
yang dialaminya. Karena Rio tak pernah bercerita
apapun kepadaku." alvin mengangguk mengerti walau tak paham sepenuhnya.
"Baiklah, aku tak tahu masa
depan akan bagaimana tapi selama bersamanya
akan kujaga Rio sebaik-baiknya." Mereka
tersenyum dan alvin menutup pintu kamar ify
Dadanya
bergemuruh, ia ingin segera pergi tanpa diketahui
rio.

###
Seminggu kemudian Tepat pukul 08.00 pagi Rio datang melihat keadaan
ify. Gadis itu makin lemah dan nyaris tak dapat
membuka matanya. Perlahan rio mendekati ify,
tak ingin membangunkannya. Matanya kabur, dan
sesak menyelimuti hatinya. Mengapa ia harus
bertemu ify saat sedang sakit dan ketika alvin bersamanya? Waktu adalah penguasa keadaan dan
Rio tak tahu harus bertindak apa bila hatinya mulai
bercabang. ify sejak lama ada di hatinya, yang ia
segel bertahun lamanya. Dan kini segel itu lepas
seiring jatuh setetes airmata. Dipegangnya tangan
ify dan terduduk lesu. Ify terbangun dan berusaha membuka matanya. Dalam keterbatasan
penglihatannya ia tahu, rio ada di sampingnya. ify tersenyum manis
"yo. Cuaca di luar sedang
baguskah? Menjelang siang atau sore? Boleh aku
keluar melihatnya?" pintanya. rio menyibak tirai
dan membuka jendela.
"Ya, cuaca cukup bersahabat
dan sekarang menjelang senja. Kau mau keluar?
Baiklah, akan kutanya dokter jaga apakah beliau mengijinkan." Tak butuh waktu lama dan rio
kembali.
"Ya, beliau mengijinkan namun hanya
selama 10 menit."
"Tidak apa-apa, itu sudah lebih dari
cukup," balas ify. rio lalu mengendong ify dan mendudukkannya di
atas kursi roda. Pemuda itu membawanya ke taman
dekat kolam air mancur. Percikan air membasahi
pinggir kolam dan bunyinya mengundang
ketenangan. Ify membuka mata dan mendongak
melihat awan yang bermain, berubah bentuk dan langit berwarna emas kemerahan. Pandangannya
beralih ke air mancur dan tertawa kecil. Rio hanya
memperhatikan, merekam setiap tingkah laku Ify
dalam ingatannya. Gadis itu menoleh ke arahnya dan tatapan mereka
bertemu.
"Rio, lihatlah! Aku masih dapat menikmati
warna dan indahnya awan. Ini hadiah Tuhan!"
serunya gembira.
"Ya, tentu saja fy. Sebab dirimu
adalah anak yang baik dan manis." Wajah ify
bersemu merah dan tertunduk malu-malu.
"Rio, aku ingat beberapa pontongan ingatan masa kecil kita.
Saat kita bermain di tenda dan hujan, iya kan? Setelah
hujan tampak pelangi indah yang mencerahkan langit,
sungguh fantastis. Hehehe... kenangan masa kecil
memang lucu bila diingat saat kita dewasa ya,"
celoteh ify dengan riang. Rio tersenyum hangat dan mengiyakan. Ia melirik jam tangannya
"fy,
waktunya sudah habis. Kita masuk sekarang ya?."
ify menatap rio dengan penuh harapan
"Gendong
ya? Aku ingin merasakan hangat punggungmu." Rio
tertawa terbahak
"Dasar ify. Sini, naik ke
punggungku. Hati-hati. Ok, kalungkan tanganmu di depan leherku dan hup! Kita jalan." Rio mendorong kursi roda ify dan merasakan
rambutnya diacak gadis itu dari belakang. Telinganya
dijewer
"Kau sudah besar ya Rio. Tinggimu
melebihiku padahal dulu aku yang lebih tinggi."
"Yaya,
kan aku tak selamanya menjadi anak-anak," balas
Rio cuek. Ify cekikikan dan kembali memeluk leher Rio lembut. Sesampainya di kamar, Rio menarik selimut dan
mengatur posisi bantal lalu membaringkan Ify.
Sehelai kertas terjatuh. Rio membungkuk
mengambil kertas itu dan melihat coretan crayon
bergambar pelangi. Senyumnya mengembang
"fy,
gambarmu jelek. Kau tetap tak bisa menggambar pelangi ya, ckckck. Tapi ini lumayanlah dari terakhir
aku melihat gambarmu." Dibaliknya kertas itu dan
membaca tulisan tangan ify.
Dear Rio,
sahabatku terkasih. Aku ragu bila kau
akan menemukan coretan gambar ini dan pasti akan
kau tertawakan lagi. Tapi aku puas dengan gambar
ini, sebuah usaha yang cukup memakan tenaga untuk
menyelesaikannya. Rio, terima kasih karena kau
telah memberiku sentuhan pelangi dalam hidup yang suram. Dan kembali menemukan cinta lama, itu
sebuah anugrah dipertemukan lagi denganmu. Rio,
hidup ini sebuah proses, kau harus berani mengambil
keputusan, berani bertindak dan berani bertanggung
jawab. Aku yakin kau mampu melewati setiap
tanjakan dalam hidupmu, bersama Sivia. Ia menemuiku beberapa hari lalu dan berbincang
banyak denganku. Pembicaran perempuan, jangan
tanyakan ya? Aku gambarkan pelangi untukmu.
Walau tak dapat memberi warna nyata dalam
hidupmu, aku harap kau menyukainya. Raihlah
impianmu Rio, dan tunjukkan lagi pelangi untukku.
Salam sayang,
Ify.

Jantung Rio berdegup dan ia memandang Ify.
Gadis itu tersenyum kecil, matanya tertutup. Dadanya
tak bergerak dan Rio tahu, malaikat telah
menjemput Ify

***


SUMBER FBFC---> http://www.facebook.com/profile.php?id=100002201550151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar